We Are Creative Design Agency

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Illum, fuga, consectetur sequi consequuntur nisi placeat ullam maiores perferendis. Quod, nihil reiciendis saepe optio libero minus et beatae ipsam reprehenderit sequi.

Find Out More Purchase Theme

Our Services

Lovely Design

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Great Concept

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Development

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

Jumat, 09 November 2012

Definisi dan Kriteria PMKS

Definisi dan Kriteria PMKS

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah Seseorang keluarga atau kelompok masyarakat, yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya ,dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecatatan, ketunasosialan, keterbelakangan atau keterasingan, dan kondisi atau perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung atau menguntungkan.

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) secara besaran dapat dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok, yaitu:
  1. Anak
  2. Wanita
  3. Lanjut Usia
  4. Keluarga
  5. Tuna Sosial
  6. Korban Penyalahgunaan NAPZA
  7. Penyandang Cacat
  8. Masyarakat

A. ANAK

Kelompok anak terdiri dari: Anak Balita Terlantar, Anak Terlantar, Anak Nakal, Anak Jalanan, Anak Cacat.
1. Anak Balita Terlantar
Anak yang berusia 0 – 4 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibanya (karena beberapa kemungkinan: Miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua–duanya meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidupnya, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani, maupun sosial.
Kriteria :
  • Anak (Laki – laki/perempuan) usia 0 – 4 tahun.
  • Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, atau balita yang tidak pernah mendapat ASI/susu pengganti atau balita yang tidak mendapat makanan bergizi (4 sehat 5 sempurna) 2 kali seminggu atau balita yang tidak mempunyai sandang yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
  • Yatim piatu atau tidak dipelihara, ditinggalkan oleh orang tuanya pada orang lain, ditempat umum maupun rumah sakit dsb.
  • Apabila sakit tidak mempunyai akses kesehatan modern (dibawa ke PUKESMAS dll).

2. Anak Terlantar
Anak yang berusia 5 – 18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan: miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit , salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu/pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Kriteria :
  • Anak (laki–laki/perempuan) usia 5–18 tahun
  • Anak yatim, piatu, yatim piatu maupun masih punya kedua orang tua
  • Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya
  • Anak yang lahir karena pemerkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan

3.Anak Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau diperlakukan Salah
Anak yang berusia 5 – 18 tahun yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Kriteria :
  • Anak (laki – laki/perempuan) usia 5–18 tahun
  • Sering mendapat perlakuan kasar dan kejam dan tindakan yang berakibat menderita secara psikologis.
  • Pernah di aniaya dan atau di perkosa.
  • Dipaksa bekerja (tidak atas kemauannya)

4. Anak Nakal
Anak yang berusia 5 - 18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya, sehingga merugikan dirinya , keluarganya dan orang lain, akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi (karena usia) belum dapat di tuntut secara hukum.
Kriteria :
  • Anak (laki – laki/perempuan) usia 5 sampai kurang dari 18 tahun dan belum menikah.
  • Melakukan perbuatan (secara berulang) yang menyimpang.

5. Anak Jalanan
Anak yang berusia 5 – 18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat – tempat umum.
Kriteria :

  • Anak (laki-laki/perempuan) usia 5-18 tahun
  • Melakukan kegiatan tidak menentu,tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan atau ditempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu, seperti: pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanjaan di pasar dan lain-lain.
  • Kegiatan dapat membahayakan dirinya sendiri atau menggangu ketertiban umum.

6. Anak Cacat
Anak yang berusia 5 – 18 tahun yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara layak, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.
Kriteria :
a. Cacat Fisik
  • Anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki.
  • Cacat tulang/persendian.
  • Cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki.
  • Lumpuh.

b. Cacat Mata.
  • Buta total (buta kedua mata).
  • Masih mempunyai sisa penglihatan atau kurang awas (low vision)

c. Cacat Rungu Wicara

  • Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar.
  • Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat mengerti).
  • Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

d. Cacat Mental eks Psilotik
  • Eks penderita penyakit gila.
  • Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku
  • Sering menggangu orang lain.

e. Cacat mental retardasi

  • Idiot: Kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal idiot usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti wajah dungu.
  • Embisil: kemampuan mental dan tingkah laku nya setingkat dengan anak normal usia 3 – 7 tahun.
  • Debil: Kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normausia 8 – 12 tahun

B. WANITA

1. Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Seseorang wanita dewasa yang berusia 18 – 59 tahun belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari – hari.
Kriteria :

  • Wanita usia 18 – 59 tahun
  • Berpenghasilan kurang atau tidak mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum (sesuai kriteria Fakir Miskin).
  • Tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak tamat/maksimal pendidikan dasar).
  • Istri yang di tinggal suami tanpa batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah.
  • Sakit, sehingga tidak mampu bekerja.

2. Wanita yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah.
Wanita yang berusia 18 – 59 tahun yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya.
Kriteria :

  • Wanita usia 18 – 59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah
  • Tidak diberi nafkah atau tidak boleh mencari nafkah
  • Diperlakukan secara keras kasar dan kejam (dipukul, disiksa) dalam keluarga
  • Diancam secara fisik dan psikologis (diteror, ditakut – takuti, di sekap) dalam kelurga atau ditempat umum.
  • Mengalami pelecehan seksual (dikantor, di RT, ditempat umum antara lain diperkosa atau dipaksa menjual diri/di eksploitir).

C. LANJUT USIA

1. Lanjut Usia Terlantar
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.
Kriteria :

  • Usia 60 tahun ke atas (laki-laki/perempuan)
  • Tidak Sekolah/tidak tamat/tamat SD.
  • Makan 2 x perhari
  • Makan-makanan berprotein tinggi (4 sehat 5 sempurna) 4 kali perminggu.
  • Pakaian yang dimiliki kurang dari 4 stel.
  • Tempat tidur tidak tetap.
  • Jika sakit tidak mampu berobat ke fasilitas kesehatan.
  • Ada atau tidak ada keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu mengurusnya.

2. Lanjut Usia yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah.
Lanjut usia (60 tahun keatas) yang mengalami tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik.
Kriteria :

  • Wanita usia 18 – 59 tahun kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah.
  • Tidak diberi nafkah atau tidak boleh mencari nafkah.
  • Diperlakukan secara keras, kasar dan kejam (dipukul, disiksa) dalam keluarga.
  • Diancam secara fisik dan psikologis (diteror, ditakut-takuti, disekap) dalam keluarga atau ditempat umum.
  • Mengalami pelecehan seksual (dikantor, di RT di tempat umum antara lain di perkosa atau dipaksa menjual diri/dieksploitir).

D. PENYANDANG CACAT

Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara layaknya yang terdiri dari: Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental (undang– undang Nomor 4 tahun 1997).

1. Penyandang cacat fisik.
Seseorang yang menderita kelainan pada tulang dan atau sendi anggota gerak dan tubuh, kelumpuhan pada anggota gerak tulang, tidaknya lengkap anggota gerak atas dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar.
Kriteria :
  • Anggota tubuh tidak lengkap putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki.
  • Cacat tulang/persendian.
  • Cacat sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki
  • Lumpuh

2. Penyandang cacat mata (tuna netra)
Seseorang yang buta kedua matanya atau kurang awas (low vision)  sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar.
Kriteria :
  • Buta total (buta kedua mata)
  • Masih mempunyai sisa penglihatan atau kurang awas (low vision)

3. Penyandang Cacat Tuna Rungu/Wicara
Seseorang yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar.
Kriteria :
  • Tidak dapat mendengar atau memahami perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu
  • dengar.
  • Tidak dapat bicara sama sekali atau berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti)
  • Mengalami hambatan atau kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

4. Penyandang cacat mental
Seseorang yang menderita kelainan mental/jiwa sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum di lakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar Penyandang cacat mental terdiri dari:
  • Penyandang cacat mental eks psikotik.
  • Eks penderita penyakit gila.
  • Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku
  • Sering mengganggu orang lain.

5. Penyandang cacat mental reterdasi
  • Idiot : Kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti wajah dungu.
  • Embisil : Kemampuan mentral dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 3 – 7 tahun.
  • Debil : Kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 8 – 12 tahun.

6. Penyandang cacat fisik dan mental
Seseorang yang menderita kelainan fisik dan mental sekaligus, atau cacat ganda, seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar.
Kriteria :
Gabungan dari beberapa kriteria cacat fisik dan mental diatas.

7. Penyandang Cacat Bekas Penyakit Kronis.
Seseorang yang pernah menderita penyakit menahun atau kronis, seperti kusta, TBC paru, yang dinyatakan sembuh/terkendali. Termasuk penyandang cacat jenis ini adalah penderita HIV/AIDS, dan stroke, tetapi mengalami hambatan fisik dan sosial untuk melaksanakan kegiatan sehari – hari secara layak/wajar.
Kriteria :

  • Eks penderita penyakit TBC paru, Kusta dan stroke.
  • Mengalami hambatan/kelainan fisik, meski badan tidak hilang (kusta).
  • Tubuh menjadi bokong dan ringkih (TB paru)
  • Cenderung dijauhi masyarakat karena takut terjangkit/menular (lerophobia dan HIV/AIDS)
  • Mempunyai rasa rendah diri

E. TUNA SOSIAL

Seseorang yang karena faktor – faktor tertentu, tidak atau kurang mampu untuk melaksanakan kehidupan yang layak atau sesuai dengan norma agama, sosial atau hukum serta secara sosial cenderung terisolasi dari kehidupan masyarakatnya. Termasuk tuna sosial adalah: tuna sosila, pengemis, gelandangan dan bekas narapidana.

1. Tuna Susila
Seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
Kriteria :

  • Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 19 tahun ke atas atau lebih.
  • Menjajakan diri ditempat umum,di lokasi atau tempat pelacuran (bordil), dan tempat terselubung (warung remang-remang, hotel, mall, dan diskotek).

2. Pengemis
Orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
Kriteria :
  • Anak sampai usia dewasa.
  • Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.
  • Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih, dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
  • Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya.

 
3. Gelandangan
Orang – orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
Keriteria :
  • Anak sampai usia dewasa, tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandangan ditempat – tempat umum, biasanya di kota – kota besar.
  • Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya .
  • Tidak mempunyai pekerjaan tetap meminta – minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas, dan lain – lain.

4. Eks Narapidana
Seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal
Kriteria :
  • Usia 18 tahun sampai usia dewasa
  • Telah selesai atau segera keluar dari penjara karena masalah pidana.
  • Kurang diterima dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan masyarakat.
  • Sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap.

F. KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

Seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat – zat adiktif lainya termasuk minuman keras di luar pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
Kriteria :
  • Usia 10 tahun sampai usia dewasa.
  • Pernah menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat – zat adiktif lainya termasuk minuman keras, yang dilakukan sekali, lebih sekali atau dalam taraf coba – coba .
  • Secara medik sudah dinyatakan bebas dari ketergantunngan obat oleh dokter yang berwenang.

G. KELUARGA

1. Keluarga Fakir Miskin
Seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
Kriteria :

  • Penghasilan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat pengeluaran perbulan, yaitu pengeluaran biaya hidup tidak melebihi Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.000,- untuk pedesaan setiap orang perbulan (tahun 2000)
  • Tingkat pendidikan pada umumnya rendah: tidak tamat SLTP, tidak ada keterampilan tambahan.
  • Derajat kesehatan dan gizi rendah
  • Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK
  • Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya
  • Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
  • Akses informasi terbatas (baca koran, radio)

2. Keluarga Berumah Tak Layak Huni
Keluarga yang kondisi Perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
Kriteria Kondisi rumah :
  • Luas lantai perkapital kota < 4 m2, desa <10 li="li" m2="m2">
  • Sumber air tidak sehat , akses memperoleh air bersih terbatas
  • Tidak mempunyai akses MCK
  • Bahan bangunan tidak permanen atau atap / dinding dari bambu rumbia.
  • Tidak memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara
  • Tidak memiliki pembagian ruangan
  • Lantai dari tanah dan rumah lembab atau pengap
  • Letak rumah tidak teratur dan berdempetan
  • Kondisi rusak.

3. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana
Masyarakat yang bertempat tinggal diwilayah rawan bencana atau disekitar daerah rawan bencana yang mengakibatkan korban jiwa, penderitaan manusia, kerugian harta benda. Kerusakan alam lingkungannya, kerusakan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan
Kriteria:
  • Wilayah bahaya gunung berapi
  • Daerah aliran sungai yang sering banjir/mungkin banjir
  • Daerah yang kemungkinan besar bisa terjadi bencana longsor
  • Daerah padat penduduk dan kumuh diperkotaan yang rawan bencana kebakaran
  • Daerah pantai yang rawan gelombang pasang/Tsunami
  • Daerah rawan bencana gempa bumi.

sumber: Kementerian Sosial RI

Pengertian PSKS

Pengertian PSKS

Potensi Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok organisasi, dan lembaga yang belum memiliki dan atau belum memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya belum dapat didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial.

Sumber Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, organisasi, dan lembaga yang telah memiliki kemampuan dan atau telah memperoleh pelatihan dan atau pengembangan di berbagai aspek pembangunan kesejahteraan sosial sehingga keberadaannya dapat didayagunakan secara langsung untuk mendukung pembangunan kesejahteraan sosial.

Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial adalah Potensi atau sumber yang ada pada manusia, alam, dan institusi sosial yang dapat digunakan untuk usaha kesejahteraan sosial.
Saat ini pembinaan PSKS oleh Departemen Sosial RI meliputi :

  1. Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). adalah warga masyarakat yang atas kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang Kesejahteraan Sosial.
  2. Organisasi Sosial (Orsos). adalah suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan Usaha Kesejahteraan Sosial.
  3. Karang Taruna (KT). adalah Organisasi sosial kepemudaan, wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat, yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dan secara organisasi berdiri sendiri.
  4. Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masayarakat (WKSBM). adalah sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini berupa jejaring kerja dari pada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuh kembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS).
  5. Dunia Usaha Yang Melakukan UKS, adalah organisasi komersial seluruh lingkungan industri dan produksi barang/jasa termasuk BUMN dan BUMD serta wirausahawan beserta jaringannya yang dapat melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

Pengertian PMKS

Pengertian PMKS

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial. Saat ini Departemen Sosial menangani 22 jenis PMKS, yaitu sebagai berikut :
  1. Anak Balita Telantar, adalah anak yang berusia 0-4 tahun karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya, meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani dan sosial.
  2. Anak Telantar, adalah anak berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan seperti miskin atau tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya atau kedua-duanya sakit, salah seorang atau kedua-duanya meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh/pengampu) sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani dan sosial.
  3. Anak Nakal, adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, serta mengganggu ketertiban umum, akan tetapi karena usia belum dapat dituntut secara hukum.
  4. Anak Jalanan, adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan maupun tempat-tempat umum.
  5. Wanita Rawan Sosial Ekonomi, adalah seorang wanita dewasa berusia 18-59 tahun belum menikah atau janda dan tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
  6. Korban Tindak Kekerasan, adalah seseorang yang mengalami tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik.
  7. Lanjut Usia Telantar, adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
  8. Penyandang Cacat, adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan penyandang cacat mental.
  9. Tuna Susila, adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
  10. Pengemis, adalah orang-orang yang mendapat penghasilan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dengan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
  11. Gelandangan, adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
  12. Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK) adalah seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal.
  13. Korban Penyalahgunaan NAPZA, adalah seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
  14. Keluarga Fakir Miskin, adalah seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
  15. Keluarga Berumah Tidak Layak Huni, adalah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratanyang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
  16. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis, adalah keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya terutama antara suami -istri kurang serasi, sehingga tugas-tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
  17. Komunitas Adat Terpencil, adalah kelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam kesatuan – kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil, dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya,sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas.
  18. Korban Bencana Alam, adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana alam yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Termasuk dalam korban bencana alam adalah korban bencana gempa bumi tektonik, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan, dan kebakaran hutan atau lahan, kebakaran permukiman, kecelakaan pesawat terbang, kereta api, perahu dan musibah industri (kecelakaan kerja).
  19. Korban Bencana Sosial atau Pengungsi, adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana sosial kerusuhan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
  20. Pekerja Migran Telantar, adalah seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan mengalami permasalahan sosial sehingga menjadi telantar.
  21. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), adalah seseorang yang dengan rekomendasi profesional (dokter) atau petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup telantar.
  22. Keluarga Rentan, adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial

UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, megara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah dan berkelanjutan.

Atas dasar pertimbangan itulah maka Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang tersebut, Karang Taruna masuk kedalam lembaga yang berpotensi atau bersumberdaya melakukan pemberdayaan sosial. Download Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial DISINI

Selasa, 18 September 2012

Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi

Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi

Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan saat ini tetap menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Mengintegrasikan suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan mudah bagi sebagian besar guru. Karenanya, diperlukan strategi tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan efektif.

Secara konsepsional, pendidikan budi pekerti merupakan usaha sadar menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. Di samping itu, pendidikan budi pekerti merupakan upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, dan seimbang.

Secara operasional, pendidikan budi pekerti merupakan upaya membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangannya sebagai bekal bagi masa depannya. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk.


Pendangkalan konsep

Dikhawatirkan, dengan pengintegrasian yang tidak tepat, pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran akan mengalami pendangkalan makna, setidaknya pendangkalan konsep. Bisa jadi pembelajaran budi pekerti menjadi tidak lebih sekadar pendidikan etika atau sopan santun. Padahal, sesungguhnya etika atau sopan santun hanyalah bagian dari pendidikan budi pekerti.

Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti perbuatan. Dengan demikian, budi pakerti dapat diartikan sebagai perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang merupakan realisasi dari isi pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran.

Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata krama, dan sopan santun, norma budaya/adat istiadat masyarakat. Pendidikan budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti luhur dapat menciptakan sikap sopan santun, suatu sikap dan perbuatan menunjukkan hormat, takzim, tertib menurut adat yang baik yang menunjukkan tingkah laku yang beradab.

Dewasa ini, masyarakat sering menggunakan istilah etiket atau etika, yang diartikan sama dengan tata krama, unggah-ungguh, dan subasita. Ketiga istilah ini selalu dihubungkan dengan sikap dan perilaku sopan santun. Dalam konteks ini, etika dihubungkan dengan norma sopan santun, tata cara berperilaku, tata pergaulan, dan perilaku yang baik.

Tata krama, berasal dari kata tata, yang berarti atur, dan krama, yang berarti langkah. Sedangkan subasita, berasal dari kata su, yang berati baik, dan basita, yang berarti bahasa. Dengan demikian, tata krama berkaitan dengan perilaku seseorang, sedangkan subasita berkaitan dengan cara memilih kata dan kalimat dalam berbahasa dan bagaimana pengucapannya. Lain halnya dengan unggah-ungguh yang merupakan hal yang bersangkutan dengan aturan sikap dan cara menempatkan diri dalam perbuatan atau bertindak. Misalnya, dalam berbicara harus mengatur sikap anggota tubuh dan alat suara.

Pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran perlu diperjelas wujudnya. Di antaranya, hendaknya implementasi pendidikan budi pekerti bukan hanya pada ranah kognitif saja, melainkan harus berdampak positif terhadap ranah afektif dan psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara, pembelajaran sebagai produk menyangkut tiga unsur, ialah ngerti, ngrasa, dan nglakoni, atau tri-nga. Ketiga unsur itu saling berkaitan. Ketiga unsur itu perlu diperhatikan, supaya nilai yang ditanamkan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang.

Secara teknis, setidaknya dapat ditempuh dua macam strategi dalam pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran. 
  1. Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dilakukan melalui keteladanan, kegiatan spontan, teguran, pengondisian lingkungan, dan kegiatan rutin. 
  2. Pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan, yang merupakan kegiatan yang jika akan dilaksanakan terlebih dahulu dibuat perencanaannya atau diprogramkan oleh guru. Hal ini dilakukan jika guru menganggap perlu memberikan pemahaman atau prinsip-prinsip moral yang diperlukan.

Akhirnya, secara kurikuler pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran yang diprogramkan perlu perhatian para guru. Mengingat banyaknya muatan-muatan lain dalam mata pelajaran sehingga kurikulum kita sangat sarat muatan. Tanpa kemampuan guru yang baik dalam mengintegrasikan pendidikan budi pekerti terprogram, bukan tidak mungkin pembelajaran akan gagal oleh karena berbagai sebab. Misalnya, fokus pembelajaran tidak jelas, keterbatasan memilih model dan metode pembelajaran, sulitnya merumuskan tujuan pembelajaran terintegrasi, dan sebagainya.***

Ki Sugeng Subagya : Penulis, pamong Tamansiswa, pemerhati pendidikan dan kebudayaan.

Kamis, 08 Maret 2012

Menghilangkan Prilaku Buruk terhadap Anak

Menghilangkan Prilaku Buruk terhadap Anak

Sejenak kita hayati dan resapi sebuah Penggalan Puisi dari Gabriella Mistral peraih Children Winner of Nobel Prize for Poetry, yang sangat bermakna dan menyentuh perilaku hidup seorang anak.
Kita Melakukan Banyak Kekeliruan dan Kesalahan
Tapi Kejahatan Kita Yang Utama adalah Mengabaikan Anak
Menyepelekan Mata Air Kehidupan…
Banyak Kebutuhan Kita Dapat Ditunda
Tapi Anak Tidak Dapat Menunggu
Kini Saatnya Tulang-Belulangnya dibentuk
Darahnya dibuat
Dan Nalurinya dikembangkan
Padanya Kita Tidak Dapat Menjawab “Besok”
Sebab ia dijuluki “Hari Ini”…

Bahagia rasanya apabila memiliki anak yang penurut, selalu bersikap manis (tidak bandel) dan bahkan mau membantu mengurangi kesibukan orang tuanya. Dalam mendidik anak, orang tua seringkali menemui kesulitan untuk mengendalikan kebiasaan atau perilaku buruk anak yang tidak disukai. Menghadapi hal tersebut, seringkali orang tua menyikapi dengan amarah bahkan ada yang sampai menggunakan kekerasan fisik, namun nyatanya tidak menimbulkan efek jera pada anak. Di sini akan dibahas mengenai satu metode yang sangat sederhana namun terbukti ampuh untuk mengendalikan perilaku dan kebiasaan buruk anak, yaitu mengabaikan perilaku anak.

Kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa ketika marah-marah, membentak, mengomeli anak, mereka sebenarnya justru sedang memberikan suatu bentuk perhatian kepada anak. Apabila orang tua mempunyai kebiasaan untuk memuji saat anak melakukan perilaku yang baik, maka bentuk perhatian negatif yang diberikan lewat amarah, omelan, atau bentakan itu sebenarnya tidak membuat anak tertarik. Akan tetapi, sayangnya, kesalahan ini banyak dilakukan orang tua, dimana orang tua membiarkan anak yang melakukan perilaku baik, tetapi segera menegur dan memarahi anak yang perilakunya buruk. Akibatnya, anak mencari perhatian orang tua dengan cara berperilaku buruk. Bagi anak, mendapat perhatian negatif masih lebih baik daripada tidak mendapatkan perhatian sama sekali.

Cara yang paling sederhana untuk membuat anak mengurangi perilaku buruknya adalah dengan tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun saat anak melakukan perilaku buruk tersebut, dengan kata lain, mengabaikan perilaku buruk anak. Dengan mengabaikan perilaku anak, orang tua seolah-olah menyampaikan pesan kepada anak, “Kamu tidak akan mendapat imbalan apa-apa dengan melakukan perilaku seperti itu. Aku tidak akan memberikan perhatian yang kamu inginkan”. Banyak orang tua yang pada awalnya meragukan apakah metode mengabaikan benar-benar dapat menghentikan perilaku buruk pada anak. Akan tetapi, setelah mereka mencobanya, mereka terheran-heran karena metode ini ternyata memang cukup ampuh.

Bagaimana menggunakan metode mengabaikan?

Saat anak melakukan perilaku yang buruk, palingkan wajah atau tubuh Anda, sementara itu, diam-diam Anda menunggu sampai anak mengganti perilakunya dengan perilaku yang baik atau yang Anda harapkan. Begitu anak memunculkan perilaku baik tersebut, berikan pujian kepadanya.

Beberapa bentuk pengabaian yang bisa Anda pilih, antara lain:
  • Menoleh kearah lain, atau memutuskan kontak mata dengan anak
  • Mengubah topik pembicaraan (menghindari topik yang berkaitan dengan anak)
  • Tidak mengganti pembicaraan yang sedang Anda lakukan (bila saat itu Anda memang sedang berbicara tentang hal lain)
  • Kembali pada aktivitas/kesibukan yang sedang Anda lakukan

Hal lain yang harus diperhatikan :
  • Ekspresi wajah Anda harus tetap tenang dan netral. Jangan tunjukkan kemarahan atau frustasi yang sedang Anda rasakan. Bersikaplah tenang, seolah-olah anak mengatakan kepada Anda bahwa Anda tidak akan terpancing olehnya.
  • Siap siagalah untuk memuji, begitu Anda menangkap perubahan perilaku anak dari yang jelek menjadi baik.

Syarat Keberhasilan
Kunci keberhasilan metode mengabaikan adalah penggunaannya secara konsisten bersama-sama dengan metode memuji. Tanpa disertai dengan memuji perilakunya yang baik, metode ini tidak akan menghasilkan efek seperti yang diharapkan orang tua.

Pertama kali orang tua menggunakan metode mengabaikan, anak biasanya akan heran. Ia berpikir mengapa tidak seperti biasanya, mengapa Anda tidak melotot, tidak membentak, tidak mendesah. Rasa heran ini akan membuat anak tergoda untuk menguji kebenaran dari kenyataan baru yang sedang dihadapinya, sehingga anak melakukan perilaku buruk itu lebih hebat lagi. Seolah-olah anak berkata, “Mengapa tidak seperti biasanya? Biasanya mama marah melihatku melakukan ini. Oh,…mungkin mama tidak melihat/mendengar aku tadi. Kalau begitu, aku akan mencoba melakukan lagi”. Dalam situasi seperti ini, orang tua memang harus berjuang keras menahan diri untuk tetap mengabaikan. Jika Anda bertahan, berarti langkah Anda sudah semakin dekat pada tujuan, sebaliknya jika Anda menyerah di sini, berarti Anda semakin menjauh dari tujuan yang ingin Anda capai.

Metode mengabaikan memang tidak langsung menghasilkan perubahan, akan tetapi apabila Anda menggunakannya secara konsisten, dalam arti Anda selalu tidak memberikan perhatian saat anak menunjukkan perilaku buruknya tersebut, Anda akan mendapati bahwa perilaku anak yang buruk yang Anda abaikan tersebut menjadi berkurang, hingga akhirnya hilang. Selamat mencoba,…..

Sumber : KPAI

Senin, 20 Februari 2012

Pentingnya PAUD dalam Membangung Anak Bangsa

Pentingnya PAUD dalam Membangung Anak Bangsa

Pendidikan sebagai suatu aspek yang ke depannya akan menemui suatu perubahan atas perkembagan zaman atau globalisasi harus dibentuk sedini mungkin yang menyangkut sumber daya di dalam pendidikan. Peserta didik merupakan sumber daya yang harus dikembangkan segala potensinya melalui pendidikan. Potensi yang dikembangkan menitikberatkan pada intelegensi dan karakter. Hal ini bertujuan untuk membentuk peserta didik yang tangguh dan siap menghadapi masa depan serta dalam ranggka membangun bangsa.

Sebagai upaya dalam membangun masa depan maka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai pendidikan awal yang memuat berbagai aspek baik dalam membentuk intelegensi sampai membentuk karakter tentunya sangatlah tepat untuk ditumbuhkembangkan. Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik, dan non fisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spritual), motorik, akal-pikiran, emosional, dan sosial yang tepat dan benar agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual, pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, dan penyediaan kesempatan-kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif.

Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM ditentukan bagaimana penanaman sejak anak usia dini. Pentingnya pendidikan pada masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden age). Pembangunan anak usia dini melalui pendidikan anak usia dini dibentuk melalui berbagai layanan seperti KB, TK, TPA, RA bahkan berusaha disinergikan melalui posyandu dan BKB yang merupakan usaha di dalam menanamkan nilai-nilai, perkembangan mulai dari jasmani sampai rohani serta dalam mengembangkan intelektual anak usia dini. Akan tetapi dalam kenyataannya layanan-layanan PAUD ini belum merata dan belum dapat disinergikan serta diintegrasikan secara menyeluruh pada masyarakat. 
Hal ini memunculkan perhatian dari dunia internasional melalui berbagai perundingan yang pada intinya akan berusaha memperbaiki layanan, mempersiapkan sumber daya yang berkualitas serta sampai pada usaha dalam meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat. Bersamaan respon baik dari dunia internasional mengenai perhatiannya serta usahanya dalam membentuk pendidikan anak usia dini yang unggul maka hal inilah yang menjadi tonggak di dalam dunia pendidikan yang secara tersirat mengungkapkan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan suatu tahap penting di dalam menyongsong masa depan bangsa.

Bermain adalah Belajar

Bermain adalah Belajar

Belajar pada dasarnya merupakan proses yang terbentuk pada diri seseorang dari hasil interaksi baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia yang menuju pada perubahan tingkah laku. Belajar identik dengan proses memperoleh dan mendapatkan pengetahuan atau ilmu. Tak sedikit orang yang beranggapan bahwa belajar merupakan proses dari ketidaktahuan akan suatu hal menjadi tahu atau paham akan suatu hal tersebut. Belajar pada hubungannya dengan bermain sering diperbincangkan oleh banyak orang sebagai dua kata yang memiliki makna kontras. Bermain identik pada kegiatan yang dapat memberikan rasa senang dan kegiatan tersebut merupakan bentuk yang menjadi kesukaan, namun dalam bermain terjadi pencapaian kepuasan yang hanya sesaat. Anggapan bermain tersebut bagi beberapa orang membawa pada terpecahnya makna belajar dan bermain yang menimbulkan sekat antara belajar dan bermain.

Bagi kebanyakan orang tua menganggap bahwa anak sebaiknya memiliki porsi belajar yang lebih tinggi dari pada porsi bermain. Hal ini mengakibatkan berkurangnya porsi bermain pada anak yang telah tergantikan dengan porsi belajar. Anggapan beberapa orang tua tersebut berlandaskan bahwa belajar merupakan bekal kelak sang anak mencapai cita-cita dan bermain hanya sebagai penghambat meraih cita-cita tersebut. Dalam arti yang lebih sederhana dapat disimpulkan oleh beberapa orang tua bahwa belajar lebih baik dari pada bermain. Pada segi anak yang menerima perlakuan demikian tentunya tidak mampu berkata untuk menolak, sehingga dalam diri sang anak akan tertanam konsep belajar lebih baik dari pada bermain.

Tak hanya beberapa orang tua yang berpandangan negatif terhadap bermain, namun beberapa pendidik juga berpandangan demikian. Hal ini tercermin pada pembelajaran yang kerap kali dilakukan oleh pendidik dengan menghadirkan konsep dan pola belajar yang sebenarnya, dalam artian tidak mempedulikan konsep bermain atas belajar. Sebagian pendidik lebih senang dan bangga apabila di dalam ruang kelas para peserta didik tekun dalam belajar dengan memperhatikan penjelasan pendidik dan sering membaca buku serta tidak menimbulkan suara gaduh atau ramai. Padahal dalam bermain terjadi proses pembentukan pemahaman mengenai suatu hal dan pengalaman dalam diri anak yang sebenarnya jika anak difasilitasi untuk bermain maka akan terbentuk suatu daya kreatifitas dan daya imajinatif dalam diri sang anak.

Bermain bukan lagi suatu kegiatan tanpa makna, melainkan suatu kegiatan yang mampu merangsang anak dalam mengembangkan dirinya. Pemberian fasilitas untuk bermain juga harus dimengerti sebagai proses dalam mengembangkan pemahaman dan pengalaman sang anak, bukan sebagai kegiatan menyenangkan hati sang anak atau mencegah anak menangis. Pemberian fasilitas bermain seyogyanya dilakukan dengan berbagai permainan yang bermakna, sehingga anak akan terangsang terhadap makna permainan itu sendiri yang merupakan penjelasan akan suatu hal. Misalnya permainan bermain peran mengenai profesi, dalam permainan tersebut anak akan dirangsang untuk menjadi seseorang contohnya polisi, dokter, guru, pilot dan lain-lain, kemudian anak akan berusaha memahami dan melakukan bagaimana peran masing-masing profesi tersebut.

Berdasarkan pengertian mengenai bermain maka sudah tidak bisa terbantahkan lagi bahwa di dalam kegiatan bermain terjadi proses belajar. Oleh karena itu, seyogyanya sebagai orang tua bahkan pendidik mampu memfasilitasi anak dalam hal bermain karena bermain merupakan dunia anak yang tidak akan tergantikan pada waktu anak itu sudah dewasa. (Fatchan Chasani)

Jumat, 13 Januari 2012

KADER PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

KADER PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dibentuk dalam rangka penumbuhkembangan, penggerakan prakarsa dan partisipasi serta swadaya gotong-royong masyarakat dalam pembangunan di desa dan kelurahan. Hubungan kerja KPM dengan Kepala Desa atau Lurah, Lembaga Kemasyarakat, Kader Teknis, dan kelompok masyarakat bersifat koordinatif dan konsultatif. 

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, DAN PERAN KPM

KEDUDUKAN
KPM berkedudukan di Desa dan Kelurahan.

TUGAS
KPM mempunyai tugas membantu Pemerintah Desa atau Lurah dan Lembaga Kemasyarakatan dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif, yang meliputi:
  1. menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan diwilayahnya;
  2. membantu masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhannya dan membantu mengidentifikasi masalahnya;
  3. membantu masyarakat mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara efektif;
  4. mendorong dan meyakinkan para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat; dan
  5. melakukan pekerjaan purna waktu untuk menghadiri pertemuan/ musyawarah, membantu kelompok masyarakat dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.

FUNGSI
Dalam melaksanakan tugas KPM mempunyai fungsi :
  1. pengidentifikasian masalah, kebutuhan dan sumber daya pembangunan yang dilakukan secara partisipatif;
  2. penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat bersama Lembaga Kemasyarakatan kepada Pemerintah Desa atau Kelurahan;
  3. penyusunan rencana pembangunan dan fasiltasi musyawarah perencanaan pembangunan secara partisipatif;
  4. pemberian motivasi, penggerakkan dan pembimbingan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;
  5. penumbuhkembangan prakarsa, swadaya dan gotong royong masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;
  6. pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;
  7. pendampingan masyarakat dalam pemantauan dan proses kesepakatan penyempurnaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan;
  8. pendampingan masyarakat dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan;
  9. penumbuhkembangan dinamika Lembaga Kemasyarakatan dan kelompok­kelompok masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pelestarian lingkungan hidup dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat;
  10. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan Kader Teknis dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif; dan
  11. penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik lndonesia.

PERAN KPM
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi KPM mempunyai peran sebagai:
  1. pemercepat perubahan (enabler), yaitu membantu masyarakat untuk mengidentifikasi masalah, mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara Ie bih efektif dan mengembangkan hubungan di antara pemeran/ stakeholders pembangunan dengan baik;
  2. perantara (mediator), yaitu melakukan mediasi individu atau kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan atau pelayanan masyarakat atau kelompok masyarakat dengan stakeholder lainnya, dan individu atau kelompok masyarakat apabila terjadi konflik dalam masyarakat;
  3. pendidik (educator), yaitu secara aktif memberikan berbagai masukan yang positif dan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalamannya. Membangkitkan kesadaran individu atau kelompok warga masyarakat bahwa ketidakberdayaan mereka disebabkan oleh ketidaksadarannya pada berbagai masalah yang ada pada dirinya.
  4. Memberi informasi melalui kegiatan belajar-mengajar untuk mendidik dan membiasakan warga yang didampinginya berfikir lebih matang secara komprehensif. Menularkan dan membagi pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh selama menjadi pendamping kepada masyarakat;
  5. perencana (planner), yaitu mengumpulkan data mengenai masalah yang terdapat dalam masyarakat, kemudian menganalisa dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah dan mengembangkan program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan patisipatif;
  6. advokasi (advocation), yaitu memberikan advokasi dani atau mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun pelayanan dan mendorong para pembuat keputusan/Kepala Desa/Lurah untuk mau mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat;
  7. aktivis (activist), yaitu melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar dengan tujuan pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan. Memperhatikan isu-isu tertentu, menstimulasi kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melalui negosiasi dalam mengatasi konflik; dan
  8. pelaksana teknis (technical roles), yaitu mengorganisir warga masyarakat, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas teknis seperti mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis, mengoperasikan komputer, menulis, presentasi dan mengatur serta mengendalikan keuangan.

PEMBENTUKAN KPM :
  1. KPM dibentuk di desa dan kelurahan berdasarkan Keputusan Kepala Desa/ Lurah.
  2. Pembentukan KPM dilakukan melalui proses pemilihan dari calon-calon KPM.
  3. KPM berjumlah antara 5 (lima) sampai dengan 10 (sepuluh) Kader yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.

SYARAT-SYARAT CALON KPM ADALAH :
  1. Warga desa/kelurahan laki-laki dan perempuan yang bertempat tinggal secara tetap di desa/kelurahan yang bersangkutan;
  2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. Berkelakuan baik dan menjadi tauladan di lingkungannya, dikenal dan diterima oleh masyarakat setempat;
  4. Sehat jasmani dan rohani;
  5. Mempunyai komitmen untuk bekerja purna waktu dalam membangun desa/kelurahan;
  6. Mengutamakan pengurus Lembaga Kemasyarakatan, pemuka masyarakat, pemuka agama, pemuka adat, guru, tokoh pemuda, dan sebagainya;
  7. Batas umur yang disesuaikan dengan kemampuan, kebutuhan, dan potensi desa/ kelurahan;
  8. Pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan, kebutuhan, dan potensi desa/ kelurahan;
  9. Mempunyai mata pencaharian tetap; dan
  10. Memenuhi persyaratan lain yang dianggap perlu oleh desa/kelurahan.

DALAM PROSES PEMILIHAN KPM PEMERINTAH DESA/LURAH BERSAMA PENGURUS LEMBAGA KEMASYARAKATAN MELAKUKAN LANGKAH-LANGKAH :
  1. Menyepakati syarat-syarat sesuai kondisi desa/kelurahan yang dapat dipenuhi untuk calon KPM;
  2. Membentuk Tim seleksi calon KPM yang terdiri dari unsur aparat Pemerintah Desa/Kelurahan dan masyarakat, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa/ Lurah;
  3. Mengumumkan pendaftaran melalui selebaran atau media lain yang sesuai kondisi desa;
  4. Melakukan seleksi sesuai kesepakatan seperti syarat administratif dan wawancara;
  5. Calon KPM yang dinyatakan lulus, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa/ Lurah;
  6. Calon KPM diajukan kepada Bupati/Walikota melalui Camat untuk mengikuti pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat; dan
  7. Calon KPM yang telah mengikuti pelatihan pemberdayaan masyarakat dengan baik, dikukuhkan secara resmi melalui Keputusan Kepala Desa/Lurah.

DALAM PEMBENTUKAN KPM, PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA MELAKUKAN :
  1. Penyelenggaraan pelatihan bagi calon KPM;
  2. Pemberian Sertifikat/Surat Keterangan telah mengikuti pelatihan kepada calon KPM yang telah mengikuti pelatihan dengan baik; dan
  3. Dapat melakukan pemberian identitas diri sebagai KPM berupa kartu KPM.KPM yang pindah datang dari desa/kelurahan lain, apabila melaporkan diri dan menunjukkan kartu identitas KPM kepada Pemerintah Desa/Kelurahan yang baru, yang bersangkutan dapat dikukuhkan sebagai KPM. 

Sumber : Permendagri No.7/2007

DOWNLOAD Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 2007 Tentang KPM

Pendidikan Memanusiakan Manusia ?

Pendidikan Memanusiakan Manusia ?

Bahwa dari zaman ke zaman manusia telah berupaya mengkonsepsikan dan mengimplementasikan pendidikan secara variatif. Kendati demikian, secara esensi dan misinya menunjukkan pada garis yang sama yakni bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan upaya untuk mempersiapkan manusia guna menghadapi berbagai tantangan perubahan yang terjadi sesuai dengan tuntutan zaman, sekaligus merupakan upaya untuk menjamin kelangsungan eksistensi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan melalui pendidikanlah hingga saat ini manusia telah mampu mempertahankan eksistensinya dan terus menerus menuju peradaban yang semakin maju dan kompleks.

Perkembangan institusi Pendidikan

Dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya, mereka senantiasa manjaga dan melanjutkan tradisi pendidikan melalui berbagai bentuk dan institusi pendidikan. Masing-masing model dan bentuk pendidikan saling berlomba untuk mendidik manusia agar menjadi lebih baik. Berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk melakukan pendidikan tersebut lambat laun memunculkan berbagai model dan institusi pendidikan yang tercatat dalam sejarah pendidikan, misalnya Academia di Yunani, Padepokan dan Pesantren di Jawa, Monastery di kalangan gereja, Madrasah di kangan masyarakat Muslim atau pun Santiniketan di India, dan masih banyak lagi. Salah satu institusi pendidikan yang sekarang menjadi model yang dominan adalah dikenal dengan isitilah “Sekolah” atau “Universitas”.

Penyelenggaraan pendidikan selanjutnya adalah menjadi kewajiban kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan salah satu strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan keberlangsungan eksistensinya. Pendidikan dipahami dan maknai sebagai sebagai sebuah wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan keterampilan kerja.

Sementara ada juga yang memaknai bahwa pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran berbangsa dan bernegara, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, untuk mengangkat status sosial, pengusaan teknologi, serta media untuk menguak misteri jagad raya. Pendidikan juga sebagai wahana untuk memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia. Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia, banyak peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Bagi kalangan Muslim ada sebuah keyakinan beragama bahwa, “menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi kaum Muslim laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukan betapa pentingnya arti pendidikan bagi umat manusia, sebab pendidikan akan sangat berpengaruh pada kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat (nirwana) kelak.

Sejarah perjalanan dan perkembangan pendidikan telah melahirkan sejumlah filsafat pemaknaan yang melandasinya. Terdapat tiga aliran paham filsafat yang masih dominan pengaruhnya hingga saat ini, yang ketiganya lahir pada zaman abad pencerahan menjelang zaman modern.  
  1. Nativisme atau Naturalisme, tokohnya antara lain; J.J. Rousseau (1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini berpendirian bahwa pendidikan pada hakekatnya sekedar sebuah proses pemberian kemudahan agar seseorang berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung pesimistik. 
  2. Empirisme atau Environtalisme, yang ditokohi oleh John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart (1776-1841 M). Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian anak manusia ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik. 
  3. Dan Konvergensionisme atau Interaksionisme, yang dipelopori oleh William Stern (1871-1939). Menurut pandangan ini, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara faktor pembawaan (genetik) dengan lingkungan (venotif). Pribadi manusia akan terbentuk sebagai sebuah hasil interaksi dari kedua faktor determinan tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang lebih rasional.
Institusi pendidikan modern mengadopsi pemikiran ini dalam rangka “mencetak” manusia yang berpendidikan dan berbudaya. Bahwa faktor gen (bawaan), sering dibahasakan dengan bakat dan minat, yang sudah dibawa sejak lahir akan berinteraksi dengan faktor lingkungan. Keduanya akan diolah sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu menjadikan anak manusia yang mumpuni, beradab dan berbudaya.

Namun, dengan semakin materialistisnya institusi pendidikan modern saat ini akankah mereka yang cerdas secara genotif, namun miskin, dapat mengolah dan mengolaborasi dengan faktor lingkungan didalam sebuah institusi pendidikan yang biayanya selangit? Benarkah masih ada kesetaraan kesempatan (egaliterarian) berpendidikan? Jika demikian adanya, maka misi dan makna pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia dan membebaskan manusia sudah tidak relevan lagi.



Kaum Biasa

Bagaimana Mengelola Waktu Lebih Efektif ??

Bagaimana Mengelola Waktu Lebih Efektif ??

Mengelola waktu lebih efektif adalah kunci kualitas kehidupan yang lebih baik. Orang yang pandai mengelola waktu hidupnya secara efektif dan efisien hidupnya pasti lebih bermakna. Kita semua punya jatah waktu 24 jam dalam sehari, tapi tidak semua orang berhasil memanfaatkannya untuk mencapai kebahagian yang diinginkannya.

Where did the good times go? Where did the good times go? Good times so hard to hold. Good times so hard to hold. –Verve, This Time.

Bagaimana mengelola waktu lebih agar lebih efektif dan efisien?

1. Bagi waktu anda dalam 3 zona.
Masing-masing zona waktu terdiri dari 8 jam.
  • 8 jam pertama: Istirahat.
  • 8 jam kedua: bekerja
  • 8 jam ketiga: menikmati hidup.

2. Pahami Apa yang harus di lakukan dalam masing-masing zona waktu.
  • 8 jam pertama (istirahat) untuk dioptimalkan. Kuncinya adalah bukan berapa banyak waktu yang anda gunakan untuk tidur atau istirahat, tapi seberapa optimal waktu tidur anda. Orang yang tidurnya optimal bisa memulihkan energi dengan lebih baik meski hanya dalam waktu 4 jam.
  • 8 jam kedua (bekerja) untuk diproduktifkan. Sama dengan waktu tidur, kuncinya adalah bagaimana menghasilkan lebih banyak dengan waktu dan energi yang lebih sedikit. Bahkan dalam buku terlaris, “The Power of Full Engagement: Managing Energy, not Time” karangan Jim Loeke dan Tony Schwaltz dikatakan bahwa kekuatan anugerah terbesar manusia adalah energi bukannya waktu.
  • 8 jam ketiga (menikmati hidup) untuk dimanfaatkan. Hidup itu bukan hanya untuk bekerja untuk makan, makan untuk hidup. Tapi juga Hidup untuk menikmati kehidupan. Berkarya, melakukan hal-hal yang kita cintai.
Penjelasan lebih lengkap untuk masing-masing zona waktu akan saya post di artikel selanjutnya.
3. Cerdas Memanfaatkan Celah.
8 Jam zona waktu itu tentu tidak pasti 8 jam. Kita hanya membaginya menjadi 3 zona besar. Tentu dalam pergantian dari satu zona ke zona lainnya kita tidak bisa pas 8 jam. Nah, memanfaatkan waktu yang ada tersebut adalah salah satu cara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Intinya adalah jangan sampai ada waktu yang terbuang sia-sia, hanya untuk bengong. Misalnya perjalan pulang di bus, dari pada bengong, mending baca-baca buku. Atau menulis hal-hal yang bermanfaat.
4. Memotong Penggunaan Waktu Yang Tidak Penting.
Berapa banyak waktu yang kita gunakan untuk menonton televisi? ngerumpi? sms-an tidak jelas? Kalau kita bisa mengganti penggunaan waktu itu dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, pasti hidup kita akan lebih menyenangkan. Bagaimana cara memotong penggunaan waktu yang tidak penting? Sama seperti bagaimana menghilangkan kebiasaan buruk, hal ini bisa dilakukan dengan menghubungkan hal-hal jelek dengan hal tersebut.
5. Mengetahui Waktu-Waktu Efektif Kita.
Ada orang yang senang bekerja di pagi hari, ada juga yang senang bekerja ketika malam gelap. Ada yang senang berolahraga siang hari, ada yang senang sore, atau malam. Ada yang merasa tidurnya lebih nyenyak di siang hari ketimbang malam hari. Tak ada yang salah. Yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu efektif diri kita. Manajemen Waktu bukan hanya masalah melakukan banyak hal dalam waktu yang sedikit, tapi juga melakukannya pada waktu-waktu yang tepat.
6. Tentukan Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.
Sebelum melakukan apapun pastikan anda memulainya dengan tujuan akhir di kepala. Begitu kata Stephen Covey. Serta miliki list to do (daftar hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu).
7. No Multitasking!
Ada yang senang melakukan 2-3 pekerjaan dalam sekali waktu. Kalau anda benar-benar pakar mungkin ini bisa anda lakukan. Namun bagi saya, lebih baik menyelesaikan satu pekerjaan dengan total, daripada melakukan tiga pekerjaan dengan setengah-setengah.
8. Tulis! Pajang!
Buat agenda perencanaan. Tulis semua hal diatas. Menulis memang tidak menjamin anda mengelola waktu dengan lebih efektif. Tapi membantu anda untuk selalu berada pada jalur yang tepat. Kalau sesuatu yang ditulis saja bisa lupa, bagaimana yang tidak di tulis. Tulis dan pajang di tempat yang paling sering anda lihat.



Our Blog

55 Cups
Average weekly coffee drank
9000 Lines
Average weekly lines of code
400 Customers
Average yearly happy clients

Our Team

Tim Malkovic
CEO
David Bell
Creative Designer
Eve Stinger
Sales Manager
Will Peters
Developer

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567






PARIWARA

PKBM YASEMA
Pusat Remaja YASEMA
Jasa Buat Blog
Pesan Pasang Iklan
Pesan Disini!
Blog     Gambar     Video     Berita    
Topik Pilihan : Puisi Buat Guru     Pedoman BKR     Generasi Berencana     Terlambat Datang Bulan     Posisi Sex