
Rabu, 22 September 2010

Menurut Simplexius Asa, staf pengajar FH Undana, dalam tulisannya yang dimuat di Bakti News edisi Apirl 2009, perilaku manusia selalu bersentuhan dengan hukum dan hak azasi manusia (HAM). Sebagai kontrol sosial, hukum membatasi perilaku tertentu dalam masyarakat agar tidak merugikan diri sendiri dan anggota masyarakat lainnya. Sebagai social engineering, hukum menjadi alat yang dapat merekayasa sebuah perubahan perilaku masyarakat sesuai keinginan dan cita-cita hukum
Dalam tulisannya tersebut, Simplexius menyatakan, persoalan diskriminatif dan tidak berkeadilan terhadap ODHA bisa merujuk pada Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
DUHAM merupakan sebuah dekrasi bangsa-bangsa tentang hal-hal universal menyangkut hak-hak asasi manusia. Begitu universalnya sehingga DUHAM hanya terdiri dari 30 pasal saja.
DUHAM dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yakni kelompok: Kelompok pertama, hak-hak sipil dan politik terdiri dari 23 pasal dan kelompok kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang terdiri dari 7 pasal.
Berdasarkan pengelompokan tersebut atas maka selanjutnya diturunkan dua kovenan, yakni konvensi hak-hak sipil dan politik dan konvensi hak-hak konomi, sosial, dan budaya.
Konvensi hak-hak sipil dan politik (The International Covenant on Civil and Political Rights-disingkat ICCPR-terdiri dari 53 pasal) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UUNo.12 Tahun 2005, yang meliputi antara lain perlindungan terhadap diskriminasi, perlindungan terhadap pelanggaran keamanan fisik dengan eksekusi yang sewenang-wenang, perlindungan terhadap penyiksaan, pengakuan di depan hukum perlindungan terhadap azas praduga tak bersalah, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Konvensi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), disingkat ICSCR-terdiri dari 31) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2005 meliputi hak atas makanan dan standar kehidupan, hak atas kesehatan dan kesejahteraan perorangan/ keluarga, hak untuk bekerja, beristirahat dan bersantai, dan hak atas keamanan sosial.
Jika DUHAM merupakan pensyarataan semesta, maka baik dua Kovenan yang ada maupun Konvensi-Konvensi PBB yang berada dibawah DUHAM hanya dapat berlaku di suatu negara jika telah dilakukan ratifikasi.
Jika konvensi-konvensi HAM tersebut telah diratifikasi, maka negara peserta mempunyai kewajiban utama yaitu berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi dan menghindarkan warganya dari kemungkinan adanya pelanggaran HAM. Dalam konteks ini negara wajib melindungi ODHA dari upaya melanggar HAM ODHA.
Disamping itu, negara juga wajib memperkenalkan serta menyesuaikan seluruh peraturan dan ketentuan hukum positif agar sejalan dengan dokumen HAM yang telah diratifikasi.
Lalu kemudian timbul pertanyaan, apakah di Indonesia terdapat pelanggaran HAM terhadap ODHA?
Jawaban adalah banyak terdapat pelanggaran HAM terhadap ODHA. Pelanggaran tersebut antara lain berupa pelanggaran prinsip kerahasiaan, pelanggaran hak untuk mendapat informasi, pelanggaran terhadap hak untuk ikut memberi persetujuan terhadap segala tindakan medis, stigmatisasi, diskriminasi, penyiksaan bahkan berupa pelanggaran HAM berat.
Ketidakadilan layanan medis juga sebenarnya melanggar UU Kesehatan yang baru (UU No. 36 tahun 2009). Rumah Sakit atau pimpinan fasilitas layanan kesehatan bisa dipidanakan jika sengaja tanpa alasan yang masuk akal menolak pasien ODHA yang sangat membutuhkan perawatan mendesak.
Seperti termaktub dalam pasal 32 dan 190. Dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Lalu ayat (2), dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka
Kemudian pasal tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 190, yang menyebutkan (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.
Kemudian ayat 2 tertulis, dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar anda agar Blog ini lebih bermakna.