Selasa, 17 Agustus 2010
Ya, kemiskinan itu berwajah perempuan. Kita tidak hanya berbicara tentang kemiskinan yang telah dikategorikan BPS dengan rumah berlantai tanah, makan daging sekali sehari dan lainnya. Kemiskinan ini lebih pada akses terhadap sumber daya, informasi , kemudian kontrol akan pembangunan serta partisipasi dan manfaat dari proses pembangunan. Dan yang sedang dibicarakan adalah kelompok perempuan. Bahwa kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan tidak bisa dipungkiri.
Kita lihat saja ’kemiskinan’ yang kini makin banyak muncul, mulai saja dari pembangunan infrastruktur apakah jalan-jalan di kota anda memiliki trotoar yang layak , serta memiliki ruang terbuka yang cukup? Segi transportasi, apakah ibu hamil dan lansia kesulitan ketika naik bis buatan Indonesia, karena pijakan terlalu tinggi? Apakah ekonomi berpihak pada perempuan pengusaha kecil dan mikro terutama kebijakan kredit pinjaman?dan apakah di lingkungan sekitar anda memiliki kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan yang meningkat dan apakah pemerintah daerah di tempat tinggal anda sedang merumuskan perda yang diskriminatif terhadap perempuan, tidak boleh keluar malam dan harus memakai atribut/simbol agama tertentu?
Kesenjangan antara kelompok laki-laki dan perempuan ini adalah salah satu bentuk kemiskinan yang kadang suka terlupa. Iya, perencana kebijakan kita lupa bahwa kebutuhan perempuan dan laki-laki itu berbeda, tetapi mereka membuat program dan kegiatan yang sama tanpa memperhatikan kebutuhan spesifik. Mau contoh yang nyata? Pada saat terjadi bencana (di Aceh maupun Yogyakarta), bantuan yang datang isinya makanan dan selimut dan kita lupa bahwa pembalut dan air bersih justru yang dibutuhkan oleh korban.
Mengapa program pembangunan belum maksimal? Karena data terpilah perempuan dan laki-laki di berbagai sektor belum tersedia, meskipun itu kualitatif. Pada proses perencanaan pembangunan dari desa- kecamatan-kabupaten-propinsi sampai nasional, kurang melibatkan kelompok perempuan miskin yang menjadi sasaran program, ketidakkonsistenan perencana dalam merumuskan prioritas sesuai dokumen perencanaan dan komitmen MDGs, belum lagi proses penganggaran yang sarat kepentingan politik, cenderung tertutup dan kadang tidak masuk akal, bayangkan saja biaya pengadaan seragam pegawai lebih besar dari pengadaan obat gratis untuk kelompok miskin.
Sedikit yang saya ceritakan tadi adalah cara memulai strategi pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan pembangunan yang sebenarnya sudah ada kerangka hukumnya melalui Inpres no 9 tahun 2000, yang di momen pelaksanaan MDGs yang saat ini ada di tengah jalan pelaksanaannya, harusnya sudah menjadi arus utama dalam kebijakan Indonesia untuk memerangi kemiskinan.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar anda agar Blog ini lebih bermakna.