Kamis, 14 Oktober 2010
Dalam masyarakat, ada yang dinamakan sebagai energi sosial budaya, atau lazim disebut sebagai energi sosial saja, yang merupakan suatu daya internal yang menunjukkan pada mekanisme dalam mengatasi masalahnya sendiri. Uphoff (Sayogyo, 1994:154) memberikan batasan bahwa energi sosial tersebut bersumber pada tiga unsur, pertama, gagasan (ideas) yaitu buah pikiran progresif yang trampil dan dapat diterima bersama. Kedua, idaman (ideals) atau harapan bagi kepentingan bersama, yaitu wujud kesejahteraan bersama sebagai buah realisasi gagasan sebelumnya. Dalam hal ini berlaku suatu norma dasar “berbuatlah bagi orang lain sebagaimana orang lain berbuat bagimu”. Ketiga, persaudaraan (friendship) yaitu wujud solidaritas dalam suatu satuan sosial sebagai daya utama dalam proses mencapai idaman yang telah dikukuhkan. Energi sosial ini terwujud dalam ragam kelembagaan lokal dalam masyarakat. Lembaga di sini dipahami sebagai ‘pola perilaku yang matang’ berupa aktivitas-aktivitas, baik yang terorganisasi maupun yang tidak.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat sebenarnya adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and a sustaniable” (Chambers, 1995).
Dalam konsep pemberdayaan, masyarakat dipandang sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, oleh karena diperlukan pendekatan yang lebih dikenal dengan singkatan ACTORS. Pertama authority atau wewenang pemberdayaan dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk melakukan perubahan yang mengarah pada perbaikan kualitas dan taraf hidup mereka. Kedua confidence and compentence atau rasa percaya diri dan kemampuan diri, pemberdayaan dapat diawali dengan menimbulkan dan memupuk rasa percaya diri serta melihat kemampuan bahwa masyarakat sendiri dapat melakukan perubahan. Ketiga, truth atau keyakinan, untuk dapat berdaya, masyarakat atau seseorang harus yakin bahwa dirinya memiliki potensi untuk dikembangkan. Keempat, opportunity atau kesempatan, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih segala sesuatu yang mereka inginkan sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Kelima, responsibility atau tanggung jawab, maksudnya yaitu perlu ditekankan adanya rasa tanggung jawab pada masyarakat terhadap perubahan yang dilakukan. Terakhir, keenam, support atau dukungan, adanya dukungan dari berbagai pihak agar proses perubahan dan pemberdayaan dapat menjadikan masyarakat ‘lebih baik’.
Titik fokus konsep pemberdayaan adalah lokalitas, sebab civil society menurut Friedmann (1992:31) masyarakat akan merasa siap diberdayakan melalui isu-isu lokal. Tentunya dengan tidak mengabaikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar civil society tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya pada sektor ekonomi tetapi juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar yang kuat secara nasional maupun internasional. Target dari konsep pemberdayaan ini adalah ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik menjadi situasi yang lebih otonom dengan cara memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri. Masyarakat miskin juga diberi kesempatan untuk mengelola dana pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak luar.
Konsep Pemberdayaan, Membantu Masyarakat Agar Bisa Menolong Diri Sendiri
Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Bryant & White (1987) menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.
Konsep lain menyatakan bahwa pemberdayakan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996).
Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Sedangkan dalam kajian ini pengertian “pemberdayaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor tersebut.
Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi.
Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan: Enabling, Empowering, and Protecting
Pemerintah, sebagai ‘agen perubahan’ dapat menerapkan kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin dengan tiga arah tujuan, yaitu enabling, empowering, dan protecting. Enabling maksudnya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Sedangkan empowering, bertujuan untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, yakni dengan menampung berbagai masukan dan menyediakan prasarana dan sarana yang diperlukan. Protecting, artinya melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah.
Untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang penting. Dengan sudut pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. Friedmann (1994:76) mengemukakan:
The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, place the emphasize on autonomy in the decision making of territorially organized communities, local self-relience (but not autrachy), direct (participatory) democracy and experiential social learning.
Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung (melalui partisipasi) demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.
Friedmann dalam hal ini menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja tetapi juga secara politis sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) baik secara nasional maupun internasional. Sebagai titik fokus dari pemberdayaan ini adalah aspek lokalitas, sebab civil society akan merasa lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Friedmann mengingatkan bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar civil society diabaikan. Sedangkan proses pemberdayaan bisa dilakukan melalui individu maupun kelompok, namun pemberdayaan melalui kelompok mempunyai keunggulan yang lebih baik, karena mereka dapat saling memberikan masukan satu sama lainnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Konsep pemberdayaan masyarakat ini lebih luas hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Belakangan ini konsep tersebut dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang oleh Friedmann disebut sebagai alternative development, yang menghendaki inclusive democracy, economic growth, gender equality and intergenerational equity (Kartasamita, 1996).
Bagaimana pendapat Anda?
www.pemberdayaan.com
Lima Catatan Penting Mengenai Pendampingan Masyarakat
Sebagai seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat, diperlukan pendekatan-pendekatan khusus agar komunitas yang didampingi mau menerima persahabatan dan bimbingan dari fasilitatornya. Berikut merupakan catatan-catatan penting dari beberapa pengalaman fasilitator masyarakat dalam mendampingi komunitas masing-masing.
- Kenali Musuhmu Sebelum Maju Perang
Sebelum memasuki sebuah komunitas baru atau mencoba melakukan pendekatan terhadap sebuah kelompok masyarakat, pastikan Anda mencari tahu mengenai latar belakang kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan bila memungkinkan juga situasi politik komunitas dampingan Anda. Hal tersebut dapat memudahkan Anda untuk memahami karakter kelompok yang akan Anda gauli, memetakan permasalahan-peremasalahan yang mereka hadapi, serta merencanakan pendekatan-pendekatan dan solusi yang dapat diambil untuk memecahkan permasalahan mereka. Langkah ini dapat diambil melalui studi literatur mengenai lokasi atau masyarakat setempat, maupun berbincang langsung dengan orang-orang yang sudah mengenali karakteristik masyarakat dampingan Anda.
- Saya adalah Teman, Bukan Guru
Ketika berkenalan dan melanjutkan pergaulan Anda dengan komunitas dampingan, pastikan Anda menampilkan sikap persahabatan yang menjunjung persamaan. Posisikan diri Anda sebagai teman yang bisa mendampingi dan membantu anggota komunitas, tanpa mencoba menggurui atau memaksakan nilai-nilai atau kehendak Anda terhadap mereka. Dengan demikian penerimaan komunitas terhadap Anda akan lebih terbuka dan Anda akan dianggap sebagai bagian dari mereka, sehingga proses pendampingan akan menjadi lebih mudah dan lancar.
- Jangan Berikan Iming-Iming Materi
Sejak awal perkenalan Anda dengan komunitas dampingan, pastikan Anda tidak memberikan janji-janji atau kesan bahwa mereka akan menerima bantuan materi dari Anda. Iming-iming materi beresiko menciptakan ketergantungan dan konflik antara komunitas dampingan dengan Anda. Usahakan agar Anda memberikan kesan bahwa dukungan moril melalui hubungan persahabatan serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan merupakan satu-satunya bantuan yang Anda berikan. Kalaupun ada bantuan materi, jangan tonjolkan hal tersebut, namun fokuskan agar komunitas dampingan dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam mengelola semua modal yang berbentuk materi maupun non materi.
- Dengarkan Suara Tiap Anggota Komunitas secara Seimbang
Sesibuk apapun Anda, upayakan agar semua anggota komunitas dampingan memiliki kesempatan untuk berbagi keluh kesahnya pada Anda. Jika Anda lalai memperhatikan salah seorang saja, atau setidaknya satu golongan tertentu, maka Anda memiliki resiko akan dicap sombong dan tidak akan dipercayai oleh anggota komunitas tertentu. Hal tersebut tentu dapat mengganggu hubungan antar personal Anda dengan komunitas dampingan. Pastikan Anda dapat membagi waktu dan perhatian Anda secara seimbang bagi semua elemen masyarakat yang membutuhkan Anda.
- Belajar dari Kesalahan, Jangan Putus Asa
Setiap perencanaan yang Anda lakukan pasti akan menghadapi tantangan dan rintangan di jalan. Jangan putus asa jika hal yang Anda rencanakan sebelumnya tidak berjalan sesuai keinginan, atau jika penerimaan komunitas terhadap Anda tidak semulus yang perkirakan. Refleksikan kegagalan-kegagalan Anda dan upayakan mencari jalan keluar alternatif. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya apabila Anda tetap memiliki niat kuat untuk mengatasinya.
(melati)
Membangun Masyarakat Cerdas
Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya.
Miskin adalah suatu permasalahan yang meresahkan. Permasalahan ini menjadi persoalan dunia, dimana MDGs mencoba memberikan solusi untuk menangani permasalahan ini. Dengan adanya arahan seperti itu diharapkan penanganan masalah kemiskinan ini menjadi lebih fokus dan diharapkan mendapatkan hasil yang lebih baik.
Jangan beri Ikan, tapi beri kail
Hal ini sering kita dengar ketika seorang fasilitator mencoba membangun kesadaran masyarakat untuk tidak membiasakan diri untuk meminta bantuan. Masyarakat biasanya menjadi sangat manja, mudah meratap dan gampang putus asa. Dampak negatifnya terjadi kecemburuan sosial yang berujung pada menigkatnya angka kriminalitas, angka depresi dan lainnya. Sehingga menjadi generasi yang tidak berguna.
Pendapat itu ada benarnya, tapi juga kurang tepat bila dihubungkan dengan sekelompok masyarakat yang sedang kelaparan dan hampir mati, atau masyarakat yang sedang kena bencana dan mengalami trauma dan depresi yang berat dimana sedang meratap karena kehilangan anggota keluarga dan materinya. Tanggung jawab pemerintah bila hal itu terjadi memang harus segera memberi ikan bukan kail.
Tapi apakah angka kemiskinan yang seperti itu sangat besar di negeri ini sehingga harus menghabiskan anggaran yang besarnya triliunan? Sepertinya harus dipikirkan dan didata kembali angka yang valid, sehingga penanganan masalah kemiskinan tidak berkutat dalam program charity yang membuat masyarakat tidak kreatif.
Belum lagi ditambah dengan sikap masyarakat yang tidak peduli dengan kriteria miskin yang telah ditetapkan misalnya dalam BLT, JAMKESMAS dan program charity lainnya. Sehingga menimbulkan salah sasaran bagi penerima manfaatnya.
Saatnya Masyarakat harus Cerdas
MDGs telah memberikan arahan yang jelas untuk penanggulangan kemiskinan secara tuntas. Dimana ketika masyarakat sedang lapar bukan hanya diberi makan saja. Ketika sudah kenyang, mereka harus diajak berfikir untuk mencoba keluar dari kemiskinan. Tampung semua keluhan mereka, dari sisi kesehatan, lingkungan, keahlian yang sangat minim sampai pada masalah permodalan usaha.
Kemudian ajak diskusi dengan mereka bagaimana caranya untuk keluar dari kukungan kemiskinan. Keinginan yang diharapkan dijadikan acuan yang realistis dan sangat mungkin untuk direalisasikan. Hal ini harus digabungkan dengan potensi pemecahan permasalahan dari lingkungan terdekat dahulu. Karena setiap wilayah (contoh Desa) pasti ada potensi pemecahan masalah, biasanya masyarakat telah tahu pemecahanannya, tapi berat untuk menjalankannya.
Memang perlu leader/fasilitator yang handal, perlu waktu untuk merubah paradigma yang terbiasa pasrah menjadi jiwa pejuang.Tapi itu adalah proses belajar, dimana ketika ingin mewujudkan masyarakat cerdas perlu waktu untuk belajar. tidak semudah membalikan telapak tangan.
Prinsip Membangun masyarakat Cerdas
- Jadikan kejujuran hal yang paling utama
- Jangan pikir nanti jadi apa, tapi pikirkan apa yang harus dikerjakan sekarang untuk persiapan masa depan
- Dapat membangun lembaga yang dipercaya
- Dapat merencanakan kegiatan untuk 3 tahun kedepan apa yang akan dilakukan
- Dapat membangun kebersamaan dengan pihak lain
Kejujuran adalah hal utama dalam memperbaiki segala hal, begitu pula halnya untuk membangun masyarakat cerdas.
Ketika transparansi dan akuntabilitas berjalan dengan baik, maka otomatis akan menimbulkan kepercayaan dari masayarakat. Ketika kepercayaan itu telah ada, maka akan mudah bagi fasiltator/lembaga untuk membangun masyarakat cerdas yang didalamnya penuh dengan kebersamaan dan ide-ide kreatif untuk kesejahteraan wilayah (desa) masing-masing.
Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Desa
Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki. Nilai-nilai kedaulatan selayaknya dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan individu dan atau golongan.
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh negara. Pembangunan pedesaan selayaknya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan dapat dilihat pula sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh. Pembangunan pedesaan bersifat multi-aspek, oleh karena itu perlu keterkaitan dengan bidang sektor dan aspek di luar pedesaan sehingga dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan nasional.
TATA KELOLA DESA
Desa sebagai salah satu entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena paling tepat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna menjawab kebutuhan kolektif masyarakat. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 206 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup:
- Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
- Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
- Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
- Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa.
Melihat urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana diuraikan diatas, maka sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas. Kepala desa yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah yang dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat. Hal ini perlu dilakukan agar desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah.
Pada sisi pengelolaan anggaran, dengan adanya dana perimbangan maka pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (pembangunan) sesuai dengan kebutuhan di desa tersebut. Terlebih lagi saat ini, banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik itu dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan dari lembaga donor yang memilih desa sebagai wilayah kerja proyeknya. Proyek-proyek berupa pembangunan fisik sarana prasarana, bantuan sosial hingga bantuan ekonomi sepatutnya menjadi energi pendorong tersendiri bagi desa untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pembangunan desa. Namun demikian, pengelolaan potensi anggaran ini belum dapat dikoordinasikan dan dikelola dengan cukup baik oleh desa sehingga proyek-proyek tersebut dilaksanakan tidak terencana sebagai bagian dari rencana pembangunan desa yang lebih komprehensif. Kadang-kadang budaya ’nrimo’, asal ada yang mau bantu sudah cukup membuat masyarakat desa sedang padahal belum tentu yang proyek tersebut adalah yang dibutuhkan oleh desa.
Sebagaimana diuraikan dalam Penjelesan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa bahwa landasan pemikiran pengaturan (tata kelola) mengenai desa yaitu:
- Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.
- Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.
- Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.
- Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud disusun oleh pemerintahan desa secara partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat desa.
Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
- Rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
- Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
RPJMD ditetapkan dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan kepala desa berpedoman pada peraturan daerah. Perencanaan pembangunan desa selayaknya didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada proyek-proyek pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah desa (seperti REKOMPAK dengan Rencana Pembangunan Permukiman-nya), maka dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan atau terintegrasi dengan RPJM Desa atau RKP-Desa.
PERAN PEMERINTAHAN DESA
Sebagaimana dipaparkan dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam desa terdapat tiga kategori kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata kelola desa, yaitu: pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat desa (pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan desa ini dijalankan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa mempunyai wewenang:
- memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
- mengajukan rancangan peraturan desa;
- menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
- menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
- membina kehidupan masyarakat desa;
- membina perekonomian desa;
- mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
- mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
- melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD mempunyai wewenang:
- membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
- melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;
- mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
- membentuk panitia pemilihan kepala desa;
- menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan
- menyusun tata tertib BPD.
PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA
Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran.
Dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Dalam proses musrenbang, keberadaan delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi ‘kosmetik’ untuk sekedar memenuhi ‘qouta’ adanya partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.
Merujuk pada kondisi di atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan yang jelas serta memiliki legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa. Dalam UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan partisipasi masyarakat desa tersebut melalui pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Pembentukan lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa. Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
Tugas lembaga kemasyarakatan meliputi:
- menyusun rencana pembangunan secara partisipatif;
- melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif;
- menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan swadaya masyarakat
- menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi:
- penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan;
- penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat;
- penyusunan rencana, pelaksanaan, pelestarian, dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif;
- penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi, serta swadaya gotong royong masyarakat;
- pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga; dan
- pemberdayaan hak politik masyarakat;
Kegiatan lembaga kemasyarakatan ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui:
- Peningkatan pelayanan masyarakat;
- Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan;
- Pengembangan kemitraan;
- Pemberdayaan masyarakat; dan
- Pengembangan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.
Proses pembangunan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dimaksudkan untuk mewadahi potensi partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan pembangunan di pedesaan. Pengelolaan pembangunan pedesaan dimaksud adalah segala urusan yang terkait dengan kegiatan pembangunan pedesaan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pendayagunaan produk pembangunan di tingkat desa. Lebih dari itu, BKM juga dapat berperan dalam memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa lepada pihak-pihak lain diluar pemerintah desa.
Apabila dikaji lebih lanjut, karakteristik BKM memiliki kesesuaian dengan ciri-ciri lembaga kemasyarakatan sebagaimana dipaparkan di atas. BKM malah seharusnya memiliki legitimasi yang cukup kuat karena anggota-anggota dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui serangkaian kegiatan pemilihan mulai dari tingkat RT. Kriteria calon anggota BKM pun dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat untuk menemukan sosok-sosok ‘orang baik’ yang akan mengendalikan BKM di desanya. Selain itu, proses pengambilan keputusan tertinggi dalam BKM adalah musyawarah warga di tingkat desa.
Harapan yang cukup besar dari masyarakat desa disandarkan di pundak BKM untuk benar-benar menjadi lembaga masyarakat yang cukup ‘capable’ untuk memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa. Berbekal dokumen Rencana Pembangunan Permukiman (RPP), BKM diharapkan dapat menjadi ‘marketing’-nya masyarakat untuk mempromosikan kebutuhan pembangunan di desanya kepada pemerintah kabupaten, provinsi, pusat serta pihak-pihak lain yang memiliki perhatian terhadap pembangunan pedesaan.
(Donny Setiawan, Field Coordinator DMC Pangandaran)